Clutch Mata'ue

From : Gerai Nusantara

Rp 300,000
  • Material terbuat dari kain kulit kayu.
  • Dikombinasi dengan Tenun Iban pewarnaan alam.
  • Satu Kompartemen cukup untuk dompet dan HP.
  • Kepala resleting menggunakan anyaman khas Baduy.

Kode Dimensi Bahan Baku Stok Berat
INO132104 t.15 x p.20 x l.2,5 cm Kain Kulit Kayu dan Tenun Iban pewarnaan alam 0 1 kg
Deskripsi produk


Didesain oleh Gerai Nusantaraclutch unik ini dibuat dari serat kayu, yang dibuat oleh Masyarakat Mata'ue, Sulawesi Tengah. Dikombinasi tenun iban dengan pewarnaan alam, yang dibuat oleh kelompok Telaga Kumang dari Masyarakat Dayak Iban-Sui Utik, Kalimantan Barat.  

Serat kulit kayu dan bahan baku pewarnaan alam dari tenun bayan menggunakan tanaman yang terdapat di sekitar hutan, wilayah adat mereka. 
Sebelum serat kayu kayu digunakan sebagai bahan baku clutch ini, kulit kayu dipukul-pukul sampai kulit kayu menjadi lentur dan tipis. Sehingga, diperoleh serat kulit kayu yang dapat dibentuk dan dijahit seperti "lembaran kain".  Material unik ini, kini kami hadirkan dalam bentuk clutch yang simple tapi tetap trendi untuk anda.

Di pelosok nusantara, kulit kayu diolah menjadi kain untuk kebutuhan sandang.  Beberapa kelompok Masyarakat Adat memiliki karakteristik kain kulit kayu yang khas, salah satunya dari Masyarakat Dayak Benuaq-Bomoy, Kalimantan Timur.  Mereka menyebutnya dengan nama "Sueekng".  Mereka mempunyai teknik khusus dalam proses pembuatan permukaan kain kulit kayu menjadi lebih halus.

Masyarakat Ado Pandere dan Masyarakat Ngata Toro dari Sulawesi Tengah juga memiliki teknik pembuatan kain kulit kayu. Mereka menggunakan "Batu Ike", sebutan untuk alat pemukul kulit kayu.

Proses pembuatannya masih sakral di Sulawesi Tengah, kaum lelaki hanya bertugas mengambil cabang kayu di hutan. Pengolahan kulitnya menjadi tanggung jawab kaum perempuan. Mereka pantang mengambil cabang kayu pada tanggal tua. "Kalau ambilnya pada tanggal tua, kulit kayu tak sempurna dilepas dari batangnya sehingga tak bisa dibuat kain," ujar Tobani Tiku (73 tahun).

Menekuni sejak 1957, Tobani menjadi nenek tertua yang masih gigih mempertahankan pembuatan kain kulit kayu di Kulawi, Sulawesi Tengah, hingga kini. Ia membuat kain kulit kayu dari pagi sampai sore. Istirahat untuk makan siang dan disudahi pukul lima sore. Untuk menyelesaikan kain kulit kayu sepanjang tiga meter dengan lebar 100 cm, Tobani memerlukan waktu sebulan. Jika tak ada halangan, ia sebenarnya bisa menyelesaikan dalam waktu tiga minggu. 

Di Kulawi kain kulit kayu biasa juga disebut Kumpe atau Mbesa (kain adat), Ranta di Bada, Hampi di Napu, dan Inodo di Besoa. Sebutan vuya itu sendiri mulai diperkenalkan pada zaman pendudukan Jepang dengan sebutan fuya.

Di Bengkulu, kain kulit kayu disebut dengan "Lantung".  Bahan bakunya diambil dari pohon yang mengeluarkan banyak getah, seperti Pohon Karet Hutan.




Review Produk

Please Login to review this product.

  • Tidak ada review
Mungkin anda tertarik